BeritaHarian24

Rokok Polos Tanpa Merk Tuai Ancaman Terhadap Masyarakat

Rokok Polos Tanpa Merk Tuai Ancaman Terhadap Masyarakat
Rokok Polos Tanpa Merk Tuai Ancaman Terhadap Masyarakat

Rokok Polos Yang Beredar Yang Di Kemas Tanpa Merk Kini Tengah Menjadi Perhatian Kementerian Kesehatan Melalui RPMK. Kebijakan mengenai kemasan rokok polos yang tanpa merek ini yang tengah dipersiapkan melalui Rencana Peraturan Menteri Kesehatan serta harus mendapat perhatian serius. Hal ini di ungkapkan oleh Merrijantij Punguan Pintaria selaku Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar dari Kemenperin. Yang mana ia menekankan bahwa perekonomian nasional berpengaruh cukup signifikan terhadap kebijakan ini. Merri menjelaskan bahwa selama beberapa bulan terakhir telah di adakan diskusi intensif terkait kebijakan mengenai rokok polos ini. Yang mana, beberapa di antaranya membahas keseimbangan antara kelangsungan industri tembakau dan kesehatan masyarakat. Meskipun ada kesepakatan umum bahwa kesehatan masyarakat perlu di jaga. Namun, ia juga mengingatkan bahwa terdapat industri tembakau yang telah beroperasi dengan jumalh lebih dari 1300. Yang mana, dengan jumlah mencapai sekitar 537 ribu orang yang menjadi tenaga kerja langsung. 

Selain itu, lebih dari 6 juta orang lainnya di topang oleh industri tembakau ini. Hal ini mulai dari petani cengkih dan tembakau hingga ke pedagang kecil. Oleh sebab itu, setiap kebijakan yang di rumuskan terkait rokok dengan kemasan polos ini perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap sektor-sektor yang bergantung pada industri ini. Yang mana, industri tembakau dalam 5 tahun kebelakang mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Hal ini terutama di kategori rokok dengan harga yang lebih tinggi. Serta, ditambah dengan hadirnya rokok dengan kemasan polos beredar dengan luas. Menurut data, sebanyak 8,02 persen menunjukkan bahwa konsumen di Indonesia cenderung sensitif terhadap kenaikan harga. Hal ini juga berimbas pada peralihan preferensi konsumen ke produk tembakau dengan harga yang lebih terjangkau. 

Dengan pilihan rokok yang memiliki opsi harga rendah, peredaran rokok dengan kemasan polos pun kian ramai. Menurut Merri, kondisi ini menggambarkan pentingnya kebijakan yang tidak hanya memerhatikan aspek kesehatan. 

Pengendalian Terhadap Rokok Dengan Kemasan Polos

Kebijakan yang di rumuskan di harapkan tak hanya berfokus terhadap aspek kesehatan masyarakat saja. Namun, daya beli masyarakat terhadap produk rokok atau hasil olahan tembakau harus juga di pertimbangkan. Yang mana hal ini akan menjaga keseimbangan antara kedua kepentingan seperti kesehatan masyarakat serta Pengendalian Terhadap Rokok Dengan Kemasan Polos tersebut. Merri menyoroti bahwa penerapan standardisasi kemasan dan desain produk tembakau menurut Pasal 435 PP 28/2024. Yang mana, seharusnya melibatkan partisipasi dari Kementerian Perindustrian atau Kemenperin. Namun, ia mencatat bahwa Kemenperin tidak di libatkan oleh Kementerian Kesehatan atau Kemenkes dalam proses dengar pendapat yang mereka adakan. Sehingga ia merasa masukan dari pihaknya di abaikan. Merri menyayangkan hal ini karena kejadian serupa pernah terjadi dan telah berulang kali terjadi. Ia berharap agar Kemenperin dapat di libatkan dalam perumusan kebijakan yang berdampak besar terhadap sektor industri yang mereka awasi.

Hal ini termasuk kedalam pengendalian rokok dengan kemasan polos. Sehingga kesejahteraan rakyat dari sisi kesehatan dan keberlangsungan petani tembakau tetap terjaga. Selanjutnya, Merri juga mengingatkan bahwa di beberapa negara lain kebijakan rokok berkemasan polos tanpa merek sudah di terapkan. Sehingga, hal ini secara otomatis berhasil menurunkan angka prevalensi perokok. Namun, di lain sisi kebijakan ini akan memungkinkan memicu peredaran rokok ilegal yang kian meningkat. Ia menjelaskan bahwa upaya ini sebenarnya sudah memberikan sumbangan yang besar bagi negara. Yang mana, kebijakan ini mampu memberikan kontribusi hingga mencapai 213 triliun rupiah. Namun, Merri mempertanyakan apakah sudah ada solusi atau substitusi yang jelas terhadap peredaran rokok ilegal atau yang berkemasan polos tersebut. Terlebih, hal ini untuk mengimbangi potensi penurunan pendapatan negara. 

Yang mana,  jika kebijakan tersebut di berlakukan, apakah solusi tersebut berjalan dengan semestinya. Merri juga menambahkan bahwa perlu di pikirkan strategi untuk mengatasi dampak ekonomi yang mungkin timbul.

Kontribusi Industri Tembakau Terhadap Perekonomian Nasional

Merri kembali menegaskan bahwa Kontribusi Industri Tembakau Terhadap Perekonomian Nasional tidak dapat di abaikan begitu saja. Namun, fenomena rokok dengan kemasan polos yang beredar di masyarakat menjadi perhatian khusus yang harus segera di sikapi. Hal ini, meskipun mendukung industri petani tembakau, namun tetap memberikan dampak kurang baik terhadap kesehatan masyarakat. Karena sifat rokok polos tanpa merk ini yang belum mendapat izin baik cukai maupun regulasi terhadap peredarannya yang tidak dapat di lacak. Kembali ke sebelumnya, sebagai contoh di tahun 2020, industri ini menyumbang sekitar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar 10 persen. Meskipun penurunan terjadi hingga tujuh persen terjadi pada tahun 2023. Namun, penurunan ini di anggap signifikan dan menjadi perhatian penting.

Selanjutnya, Ketua GAPPRI, Henry Najoan, juga menyuarakan kekhawatiran yang sama. Yang mana, hal tersebut terkait dengan regulasi dalam RPMK yang mengatur kemasan dan desain rokok. Hal ini dapat di simpulkan, bahwa Ketua GAPPRI tersebut berupaya menekan pergerakan rokok berkemasan polos dengan regulasi tentang kemasan dan desain rokok. Sehingga, rokok berkemasan polos ini menjadi hal yang menarik perhatian beberapa pihak maupun lembaga. Henry Najoan lanjut menyatakan bahwa sejak kenaikan tarif cukai, kondisi industri tembakau semakin tertekan. Yang mana, kenaikan tarif tersebut telah berlangsung dari tahun 2020 hingga 2024. Selanjutnya, kenaikan ini semakin di perparah oleh daya beli masyarakat yang terdampak pandemi. 

Menurutnya, berbagai regulasi baik yang bersifat fiskal maupun nonfiskal telah di terapkan terhadap industri tembakau ini. Sehingga, regulasi tersebut memberikan beban pungutan negara yang mencapai 76 persen untuk setiap batang rokok. Najoan mengungkapkan bahwa industri tembakau Indonesia di perlakukan seolah-olah setara dengan produsen narkotika. Yang mana, kontribusi industri tembakau ini terhadap perekonomian negara sangat signifikan.

Mengkritik Ketidakadilan Dalam Penerapan Kebijakan Baru

Najoan mengapresiasi usaha Kementerian Perindustrian atau Kemenperin dalam mencari solusi. Meskipun begitu, ia Mengkritik Ketidakadilan Dalam Penerapan Kebijakan Baru yang di perkenalkan oleh Kementerian Kesehatan atau Kemenkes. Sehingga, hal ini memungkinkan peredaran rokok – rokok dengan kemasan polos meningkat di kalangan masyarakat. Karena mereka mengharuskan penggunaan desain warna dan seragam yang tidak menarik bagi konsumen. Najoan mempertanyakan apakah kebijakan ini sesuai dengan peraturan lain yang berlaku. Ia mempertanyakan hal tersebut sambil menyoroti adanya banyak ketentuan dalam RPMK yang di anggap tidak tepat. Serta, mengancam kelangsungan industri tembakau.

Selain itu, Najoan mengkritik beberapa pasal dalam regulasi tersebut. Seperti, larangan radius dari sekolah sejauh 200 meter dan pembatasan iklan dalam penjualan rokok. Di sisi lain, rokok berkemasan polos beredar secara massive namun tak terdeteksi. Sehingga, stigma negatif tercipta terhadap industri kretek akibat kebijakan ini. Yang mana sebenarnya industri ini melibatkan sekitar 5,9 juta orang dalam ekosistemnya. Najoan juga menekankan bahwa cukai hasil tembakau telah memberikan kontribusi besar. Yang mana, industri ini telah berkontribusi sekitar 10 persen dari total APBN alih-alih pendapatan dari Rokok Polos.

Exit mobile version