Trump Ancam Bom Ibu Kota China dan Rusia, Dunia Bereaksi
Trump Ancam Bom Ibu Kota China Dan Rusia, Rekaman Suara Yang Bocor Dari Acara Galang Dana Trump Memicu Kehebohan Internasional. Dalam rekaman tersebut, mantan Presiden Amerika Serikat itu mengklaim pernah mengancam akan “membombardir Moskow” jika Rusia menyerang Ukraina. Serta mengancam Beijing apabila Tiongkok mencoba merebut Taiwan.
“Kalau kamu menyentuh Ukraina, kami akan membom Moskow. Dan aku bilang hal yang sama pada Presiden Xi soal Taiwan,” ujar Trump dalam klip yang pertama kali di rilis oleh CNN. Ia menambahkan bahwa kendati ancaman itu mungkin hanya di percaya “10 persen.” Itu sudah cukup untuk membuat para pemimpin lawan berpikir dua kali.
Pernyataan Trump, yang di sebut terjadi dalam forum tertutup untuk para donatur kampanye, langsung menuai respons keras. Media internasional menyebut gaya diplomasi Trump sebagai deterrence ekstrem. Sementara banyak analis menilai ini sebagai bagian dari citra “pemimpin keras” yang ingin ia bangun menjelang pemilihan presiden 2024.
Dari Moskow, juru bicara Kremlin menyatakan tidak bisa memastikan keaslian rekaman tersebut, seraya menyebut perlu adanya verifikasi lebih lanjut. Dari Beijing, belum ada pernyataan resmi, namun media pemerintah Cina cenderung merespons dengan hati-hati. Di dalam negeri AS sendiri, mantan Penasihat Keamanan Nasional John Bolton meragukan keabsahan klaim Trump. Menyebutnya kemungkinan sebagai “cerita dibuat-buat untuk tampil heroik di depan pendukung.”
Meski belum ada bukti bahwa ancaman tersebut pernah benar-benar di sampaikan dalam forum resmi kenegaraan. Bocoran itu telah memicu perdebatan tentang batas etika dalam diplomasi dan komunikasi pemimpin dunia.
Pakar hubungan internasional menilai pernyataan semacam itu, jika benar, bisa memperburuk stabilitas geopolitik, terutama di tengah ketegangan AS–Tiongkok dan konflik Rusia–Ukraina yang belum mereda. Sementara itu, tim kampanye Trump tidak membantah isi rekaman. Malah menyebutnya sebagai contoh nyata keberanian pemimpin “yang tahu cara menjaga perdamaian lewat kekuatan.”
Menuai Gelombang Reaksi Dari Berbagai Pihak
Bocoran rekaman suara Donald Trump yang mengungkap ancamannya untuk membom Moskow dan Beijing jika Rusia menyerang Ukraina atau China menyerang Taiwan Menuai Gelombang Reaksi Dari Berbagai Pihak, baik di dalam negeri Amerika Serikat maupun dari komunitas internasional. Nada yang muncul beragam—dari kecaman, ketidakpercayaan, hingga kekhawatiran serius terhadap stabilitas global.
Dari Moskow, juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan pihaknya “tidak dapat mengonfirmasi keaslian rekaman tersebut” namun menyebut bahwa jika benar, pernyataan itu sangat berbahaya dan tidak bertanggung jawab. Ia menambahkan bahwa hubungan internasional tidak bisa di jalankan berdasarkan ancaman dan ego personal. Meski tak menyebut nama Trump secara langsung, Peskov menekankan pentingnya komunikasi diplomatik yang rasional dalam menghadapi konflik internasional.
Di Beijing, meskipun pemerintah China belum mengeluarkan pernyataan resmi, media milik negara seperti Global Times menulis editorial tajam, menyebut ucapan Trump sebagai “retorika kekanak-kanakan dari politisi gagal yang merindukan panggung dunia.” China menyatakan akan “selalu mempertahankan kedaulatan nasional” dan memperingatkan bahwa ancaman militer terhadap Beijing adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip hubungan internasional yang damai.
Sementara itu, reaksi di dalam negeri Amerika Serikat tak kalah hangat. Mantan Penasihat Keamanan Nasional, John Bolton, mengkritik tajam ucapan Trump, menyebutnya sebagai teater politik yang di buat untuk memukau para donatur. “Trump ingin tampil kuat, padahal kenyataannya ia tidak punya pemahaman strategis jangka panjang,” ujar Bolton dalam wawancara dengan NBC.
Dari Partai Demokrat, Senator Chris Murphy menyebut rekaman itu “mengkhawatirkan” dan meminta klarifikasi segera dari pihak keamanan nasional. “Kita tidak bisa membiarkan pemimpin potensial memutarbalikkan diplomasi menjadi permainan ancaman nuklir,” ujarnya.
Sementara itu, tim kampanye Trump merespons dengan santai. Dalam siaran pers singkat, mereka mengatakan bahwa “pemimpin kuat hanya bisa di takuti jika dia tidak bisa di tebak.” Mereka menggambarkan ucapan Trump sebagai bentuk “peace through strength” yang selama ini menjadi prinsip kepemimpinannya.
Pernyataan Trump Bisa Di Lihat Sebagai Bentuk Komitmen Keras
Dunia kini menghadapi bayang-bayang ketegangan baru yang berpotensi memperuncing hubungan antara kekuatan-kekuatan besar dunia.
Ancaman terhadap Rusia dan China—dua negara adidaya dengan pengaruh global yang luas—bukan hanya persoalan retorika. Dalam konteks geopolitik, ucapan seperti itu dapat di baca sebagai eskalasi verbal yang bisa memicu ketegangan diplomatik maupun militer. Bagi negara-negara sekutu AS, seperti Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara NATO. Pernyataan Trump Bisa Di Lihat Sebagai Bentuk Komitmen Keras terhadap aliansi pertahanan. Namun bagi negara non-blok atau yang berada di kawasan sensitif seperti Asia Timur, ini menjadi sinyal bahaya terhadap stabilitas regional.
Di Beijing, ucapan Trump memperkuat narasi lama bahwa Amerika Serikat adalah ancaman terhadap kedaulatan dan reunifikasi nasional. Ini dapat mendorong China mempercepat persiapan militer di kawasan Indo-Pasifik dan semakin memperkuat aliansinya dengan Rusia dan Iran dalam menghadapi tekanan Barat. Bahkan beberapa pengamat menilai bahwa ucapan tersebut justru bisa mendorong koalisi tandingan anti-Barat yang lebih kuat.
Dari Moskow, meski Kremlin bersikap hati-hati dalam menanggapi keaslian rekaman, pesan yang tersirat tetap berbahaya. Dalam hubungan yang sudah renggang akibat perang di Ukraina, komentar tersebut dapat menghambat peluang diplomasi dan memperpanjang ketegangan antara Rusia dan dunia Barat.
Dampak lainnya terlihat dalam pasar keuangan global. Setelah rekaman tersebar, mata uang safe haven seperti emas dan franc Swiss menunjukkan penguatan tipis, mencerminkan kekhawatiran investor akan ketidakpastian geopolitik.
Kesimpulannya, ancaman Trump bukan sekadar manuver kampanye atau retorika pribadi. Dalam geopolitik, kata-kata pemimpin dunia memiliki bobot strategis. Jika tidak di kendalikan, pernyataan semacam ini bisa mengaburkan garis antara diplomasi dan provokasi—membuka ruang bagi konflik yang lebih luas di masa depan.
Keaslian Dan Konteks Penuh Rekaman Tersebut Masih Dalam Proses Verifikasi
Rekaman suara Donald Trump yang mengklaim dirinya pernah mengancam Presiden Rusia dan Presiden Tiongkok dengan serangan bom jika kedua negara melancarkan invasi, kini menjadi sorotan tajam media dan pemerintahan di seluruh dunia. Namun hingga saat ini, Keaslian Dan Konteks Penuh Rekaman Tersebut Masih Dalam Proses Verifikasi, sementara berbagai pihak menanggapi dengan hati-hati—dan kadang tajam.
Laporan pertama muncul dari CNN, yang memperoleh rekaman tersebut dari salah satu peserta penggalangan dana privat Trump tahun 2024. Rekaman itu tidak memuat tanggal pasti kapan percakapan tersebut terjadi, namun di kaitkan dengan masa kampanye pra-pemilu. CNN menyatakan bahwa mereka telah mengonfirmasi suara itu adalah milik Trump melalui sumber internal dan ahli suara. Namun tidak ada bukti bahwa ancaman tersebut benar-benar disampaikan secara resmi saat Trump menjabat sebagai presiden.
Dari pihak Trump, tim kampanye tidak menyangkal isi rekaman. Sebaliknya, mereka justru menyebut pernyataan tersebut sebagai “strategi ketegasan” yang menunjukkan gaya kepemimpinan Trump. Dalam sebuah pernyataan resmi, juru bicara kampanye menyebut, “Presiden Trump percaya perdamaian hanya bisa dijaga jika lawan percaya bahwa Amerika tidak akan ragu untuk bertindak.”
Sementara itu, pemerintah AS melalui Dewan Keamanan Nasional (NSC) menolak memberikan komentar langsung terkait isi rekaman. Mereka menyatakan bahwa “kami tidak memberikan tanggapan atas materi kampanye calon presiden.” Namun sumber internal Gedung Putih menyebut kekhawatiran bahwa pernyataan seperti ini dapat mempengaruhi hubungan diplomatik yang sedang berjalan, terutama terkait stabilitas di Indo-Pasifik dan Eropa Timur.
Lembaga internasional dan pakar kebijakan luar negeri menyerukan agar rekaman ini diteliti lebih dalam untuk menghindari disinformasi yang dapat memicu ketegangan internasional. Beberapa analis juga menekankan pentingnya membedakan antara retorika politik dan kebijakan negara yang sah Trump.